Saturday 14 February 2015

Ekonomi Kerakyatan ?


Ekonomi Kerakyatan ?
Ah, rasanya aku tidak ingin terlalu muluk-muluk. Namun ada beberapa pemikiran yang sering mengganjal di pikiranku, di otakku, hingga jika tak diungkapkan malah akan membebal. Ku bagi saja dalam sebuah tulisan, semoga kelak bermanfaat, jika tidak untuk orang lain, setidaknya sebagai parameter untuk diriku sendiri.
Mengingat kebutuhan adalah sesuatu yang memang sangat penting, kebutuhan primer dan sekunder yang datang silih berganti. Aku yang masih suka duduk menjadi penonton di bangku kehidupan ini cuma mampu menonton, memahami dan tertunduk. Betapa payah.

Sering terlibat dalam percecokan napsu dan logika, bagaimana bisa makan di resto menaikkan gengsi seseorang ? Sementara di sisi lain penjual minuman keliling berteriak-teriak sampai mereka sendiri kehausan. Dengan upah atau bahkan untung yang tak bisa ku bilang banyak atau sedikit, karena memang kuantitas itu relative tergantung dari sudut mana kita memandang dan membandingkannya.

Aku masih sering ingin makan enak, makan kebab, makan pizza, makan pasta, makan jenis makanan sok western atau resto yang ternyata sahamnya dimiliki siapa pun aku tak tahu. Padahal mengaku cinta sama negeriku, walaupun negriku mulai menjijikkan. Walaupun begitu toh aku masih mengaku mencintainya. Masih banyak yang harus disyukuri, betapa Indonesia ku memang begitu indah dan membanggakan selain ludah sembarangan yang menjijikkan, sampah bertebaran yang bau busuk, lautan cokelat yang merendam bangunan-bangunan gagah, atau masih tentang mereka yang duduk berjajar dan memakan uang rakyat ? hah ? uang rakyat ? Toh Indonesia masih punya banyak gunung dan keindahan alam yang harus dicintai. Masih banyak anak kecil telantar yang harus dipeluk, masih banyak pejuang sekolah yang rela paginya berjualan Koran dan melanjutkan studi setelah usai berjualan. Masih banyak semangat yang harus aku genggam di atas negriku yang penuh kasih ini. Rakyatnya ulung, meskipun akan tetap ada bajingan di setiap sudutnya. Aku masih mencintaimu, tanah airku.

Tak jauh dari kata rakyat. Masih terbesit di kepalaku tentang ekonomi kerakyatan, yang disebutkan sebagai sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan ekonomi rakyat. Bulshit lagi jika aku mengaguminya dengan menggebu. Toh masih sering belanja di saham milik siapa ? Toh aku mengaku mengaguminya. Iya aku mengaguminya. Keindahan sistem ini.

Keringat yang mengalir deras di tengah terminal, peluh bapak tua yang masih bekerja dengan untung seribu, dua ribu adalah pejuang ekonomi kerakyatan, pun begitu masih kalah dengan mini market (*mart)  yang adem dan lebih mahal. Ah. Bapak, adalah seorang lelaki yang rela mengorbankan keinginannya, demi memenuhi kebutuhan anaknya.

Berapa persen keuntungan yang mereka ambil untuk sebotol air mineral ? rata-rata 500,- sampai 1.000,-, pun begitu masih harus berpanas-panasan dan menggotong air mineral berliter-liter. Lantas mbok-mbok yang menggendong ketela rebus dijalanan ? atau mbok-mbok yang menggendong nasi pecel ? ah katanya aku mengagumi ekonomi kerakyatan ? Malu sekali dengan pejuang ekonomi kerakyatan yang nyata.

Membandingkan membeli di warung-warung kecil dan *mart, ah sial kurang kerjaan.
Warung lokal mulai tergusur dengan keberadaan *mart, yang sudah jelas warung lokal menyediakan harga lebih murah. Aku yang mengaku cinta ekonomi kerakyatan ini masih suka lebih memilih di tempat yang adem dan lebih mahal kalau berbelanja. Ada apa dengan pola pikir seperti ini ? sedikit saja, yang katanya mengaku cinta pada ekonimi kerakyatan ini. yuk lah mulai belanja di tempat-tempat lokal, warung-warung kecil, penjajak air minum keliling, pada rakyat yang berdagang. Jajan di tempat lokal. Bapak tua penjual balon, nenek-nenek yang menggendong barang dagangan. Toh mereka memelihara diri mereka dari meminta-minta. Salut ! Mereka adalah pejuang ekonomi kerakyatan yang sebenarya. Lantas kita ini bisa apa ? Bisa memilih harus membeli dimana ;)

Manusiawi lah kalau masih ingin yang serba enak, sesekali masih boleh lah. Yuk saling bantu,  Pada mereka yang memperjuangkan ekonomi kerakyatan secara terang-terangan.

Bercerita kepada kita Yahya bin Bakir bercerita kepada kita Laits dari Uqail dari Ibnu Syihab dari Abi Ubaid Maula Abdurrahman bin Auf sesungguhnya telah mendengar dari Abu Hurairah r.a. dia berkata : Rasulullah bersabda “Mencari kayu bakar seberkas lalu dipikul di atas punggungnya terus dijual itu lebih baik bagi seseorang dari pada mengemis kepada orang lain yang kadang-kadang diberinya atau tidak


No comments:

Post a Comment