Ekonomi
Kerakyatan ?
Ah, rasanya
aku tidak ingin terlalu muluk-muluk. Namun ada beberapa pemikiran yang sering
mengganjal di pikiranku, di otakku, hingga jika tak diungkapkan malah akan
membebal. Ku bagi saja dalam sebuah tulisan, semoga kelak bermanfaat, jika
tidak untuk orang lain, setidaknya sebagai parameter untuk diriku sendiri.
Mengingat
kebutuhan adalah sesuatu yang memang sangat penting, kebutuhan primer dan
sekunder yang datang silih berganti. Aku yang masih suka duduk menjadi penonton
di bangku kehidupan ini cuma mampu menonton, memahami dan tertunduk. Betapa payah.
Sering terlibat
dalam percecokan napsu dan logika, bagaimana bisa makan di resto menaikkan
gengsi seseorang ? Sementara di sisi lain penjual minuman keliling
berteriak-teriak sampai mereka sendiri kehausan. Dengan upah atau bahkan untung
yang tak bisa ku bilang banyak atau sedikit, karena memang kuantitas itu relative
tergantung dari sudut mana kita memandang dan membandingkannya.
Aku masih
sering ingin makan enak, makan kebab, makan pizza, makan pasta, makan jenis
makanan sok western atau resto yang ternyata sahamnya dimiliki siapa pun aku
tak tahu. Padahal mengaku cinta sama negeriku, walaupun negriku mulai menjijikkan.
Walaupun begitu toh aku masih mengaku
mencintainya. Masih banyak yang harus disyukuri, betapa Indonesia ku memang
begitu indah dan membanggakan selain ludah sembarangan yang menjijikkan, sampah
bertebaran yang bau busuk, lautan cokelat yang merendam bangunan-bangunan
gagah, atau masih tentang mereka yang duduk berjajar dan memakan uang rakyat ?
hah ? uang rakyat ? Toh Indonesia masih punya banyak gunung dan keindahan alam
yang harus dicintai. Masih banyak anak kecil telantar yang harus dipeluk, masih
banyak pejuang sekolah yang rela paginya berjualan Koran dan melanjutkan studi
setelah usai berjualan. Masih banyak semangat yang harus aku genggam di atas
negriku yang penuh kasih ini. Rakyatnya ulung, meskipun akan tetap ada bajingan
di setiap sudutnya. Aku masih mencintaimu, tanah airku.
Tak jauh
dari kata rakyat. Masih terbesit di kepalaku tentang ekonomi kerakyatan, yang
disebutkan sebagai sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan ekonomi rakyat. Bulshit
lagi jika aku mengaguminya dengan menggebu. Toh masih sering belanja di saham
milik siapa ? Toh aku mengaku mengaguminya. Iya aku mengaguminya. Keindahan
sistem ini.
Keringat yang
mengalir deras di tengah terminal, peluh bapak tua yang masih bekerja dengan
untung seribu, dua ribu adalah pejuang ekonomi kerakyatan, pun begitu masih
kalah dengan mini market (*mart) yang
adem dan lebih mahal. Ah. Bapak, adalah
seorang lelaki yang rela mengorbankan keinginannya, demi memenuhi kebutuhan
anaknya.
Berapa
persen keuntungan yang mereka ambil untuk sebotol air mineral ? rata-rata 500,-
sampai 1.000,-, pun begitu masih harus berpanas-panasan dan menggotong air
mineral berliter-liter. Lantas mbok-mbok yang menggendong ketela rebus dijalanan
? atau mbok-mbok yang menggendong nasi pecel ? ah katanya aku mengagumi ekonomi
kerakyatan ? Malu sekali dengan pejuang ekonomi kerakyatan yang nyata.
Membandingkan
membeli di warung-warung kecil dan *mart, ah sial kurang kerjaan.
Warung lokal
mulai tergusur dengan keberadaan *mart, yang sudah jelas warung lokal
menyediakan harga lebih murah. Aku yang mengaku cinta ekonomi kerakyatan ini
masih suka lebih memilih di tempat yang adem dan lebih mahal kalau berbelanja. Ada
apa dengan pola pikir seperti ini ? sedikit saja, yang katanya mengaku cinta pada
ekonimi kerakyatan ini. yuk lah mulai belanja di tempat-tempat lokal,
warung-warung kecil, penjajak air minum keliling, pada rakyat yang berdagang. Jajan
di tempat lokal. Bapak tua penjual balon, nenek-nenek yang menggendong barang
dagangan. Toh mereka memelihara diri mereka dari meminta-minta. Salut ! Mereka
adalah pejuang ekonomi kerakyatan yang sebenarya. Lantas kita ini bisa apa ?
Bisa memilih harus membeli dimana ;)
Manusiawi lah
kalau masih ingin yang serba enak, sesekali masih boleh lah. Yuk saling bantu, Pada mereka yang memperjuangkan ekonomi
kerakyatan secara terang-terangan.
Bercerita kepada kita Yahya bin Bakir bercerita kepada kita
Laits dari Uqail dari Ibnu Syihab dari Abi Ubaid Maula Abdurrahman bin Auf
sesungguhnya telah mendengar dari Abu Hurairah r.a. dia berkata : Rasulullah
bersabda “Mencari kayu bakar seberkas lalu dipikul di atas punggungnya terus
dijual itu lebih baik bagi seseorang dari pada mengemis kepada orang lain yang
kadang-kadang diberinya atau tidak”
No comments:
Post a Comment