Masih
dengan tokoh utama yang sama, lelaki pribumi yang memiliki idealism tinggi dan
pemikiran-pemikiran yang sering meloncat jauh kedepan, mengikuti cara berpikir
orang modern dan kaum intelek. Minke. Di Tetralogi buru yang ketiga ini, Jejak
Langkah mengambil setting tempat kebanyakan di Betawi, Buitenzorg (sekarang Bogor),
Bandung, meskipun ada juga beberapa tempat yang melatari beberapa kejadian
dalam buku ini seperti, Sukabumi, Yogyakarta, Semarang, Jepara, Rembang,dan Sala (Surakarta).
Jejak
Langkah menceritakan tentang pergerakan organisasi yang dipelopori oleh kaum
pribumi yang memperkenalkan nasionalisme. Minke memobilisasi segala daya untuk
melawan bercokolnya kekuatan Hindia yang sudah berabad-abad umurnya. Namun Minke
tak pilih perlawanan bersenjata. Ia memilih jalan jurnalistik dengan membuat
sebanyak-banyaknya bacaan Pribumi. Yang paling terkenal tentu saja Medan
Prijaji. Dengan Koran ini, Minke berseru-seru kepada rakyat Pribumi tiga hal :
meningkatkan boikot, berorganisasi, dan menghapuskan kebudayaan feodalistik. Sekaligus
lewat langkah jurnalistik, Minke berseru-seru : “Didiklah rakyat dengan
organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan.”
Berikut
Resensinya :
Hijrahnya
Minke dari Wonokromo menuju Betawi untuk menempuh pendidikan dokter di STOVIA, yang
dibiayai oleh Gubermen. Hal ini memaksa Minke berpisah dengan Nyai Ontosoroh,
Mama mertua yang mengajarkan begitu banyak kehidupan dan lika-likunya. Di Betawi
ia hidup di asrama dengan segala peraturan dan tata tertib yang sering
dilanggarnya, ia belajar dan tetap mengasah kemampuan menulisnya. Salah satu
langkah permulaan hingga ia terlibat sangat jauh dalam dunia jurnalis di Betawi
adalah ajakan dari sahabatnya yang datang langsung dari Semarang, Ter Haar,
untuk mengikuti undangan diskusi dan pertemuan di Kamarbola De Harmonie.
Hal itu menjadi spesial karena narasumbernya adalah Jenderal Van Heutz dan
seorang anggota Tweede Kamer, Van
Kollewijn, Orang yang dipandang sangat berjasa pada Hindia, katanya, telah
berhasil melahirkan segi-segi kehidupan baru bagi Pribumi. Sekalipun, ya,
sekalipun gula yang paling banyak
menikmati jasa-jasanya. Pada diskusi ini akhirnya Minke mudah dikenal oleh
Jendral Van Heutz.
Setiap
akhir pekan para siswa diperbolehkan keluar asrama, dan Minke lebih sering
bergentayangan di Waterloo Plain
(sekarang lapangan Banteng) untuk sekedar mendengarkan musik. Kalau keluar dari
halaman sekolah orang akan menghafalkan wajah-wajah para siswa, mereka pemburu
menantu calon dokter. Hingga akhirnya Minke memutuskan tempat tinggal untuk
setiap akhir pekan, ia memilih mendatangi Ibu Badrun, wanita tua, janda, dan
hidup bersama dua orang anak lelaki pungut. Disini ia banyak menghabiskan waktu
untuk menulis dan membaca.
Suatu
waktu ia mengingat mendiang Khow Ah Soe, keturunan Tiongkok yang berjuang di
Hindia, mendiang sahabatnya yang ia kenal di Surabaya itu menitipkan surat yang
ditujukan untuk seorang gadis Tiongkok yang kini tinggal di Betawi. Akhirnya ia
mencari alamatnya dan mengantarkan surat tersebut. Kepada Ang Son Mei surat itu
ditujukan, dan akhirnya bertemu dengan segala upaya, sampai akhirnya Minke
menikah lagi dengan gadis pejuang Tiongkok yang tergabung dalam organisasi
Tionghoa Hwee Koan ini.
Mei,
begitu ia akrab disapa, menjadi istri yang baik dan telah dikenalkan kepada
keluarga Minke di kota B. Mereka berkunjung ke rumah gadis Jepara yang pernah
beberapa kali menyurati Mei, bertukar pikiran dan berdiskusi. Hingga kini
mereka tinggal di Betawi, di rumah ibu Badrun. Minke mulai mengatur waktu untuk
tinggal di asrama dan di rumah ibu Badrun. Sedangkan Mei pun mulai aktif dalam
organisasinya lagi. Setelah memperistri gadis Tionghoa tersebut, pemikiran
Minke menjadi semakin kritis dan tajam kepada Belanda. Terinspirasi dari
beberapa gerakan Angkatan Muda Tiongkok, perlayanan rakyat Filipina terhadap
penjajahan Spanyol, dan kemajuan pesat bangsa Jepang di belahan bumi utara.
Suatu
ketika mereka mengikuti seminar dengan narasumber pensiunan dokter jawa yang
menyuntikkan semangat berorganisasi, pensiunan dokter jawa ini menceritakan
pergerakan kaum Tionghoa. Ia menjelaskan dan memberi semangat agar pemuda
pribumi membentuk organisasi seperti yang telah dilakukan penduduk Tionghoa di
Hindia. Menyadari ketertinggalan pribumi, karena organisasi dipandang sangat
perlu. Ketertinggalan yang semakin menjadi, jangankan dengan bangsa Asia,
Jepang, yang saat itu sudah dipandang sederajat dengan bangsa Eropa, dengan
golongan Tionghoa dan Arab di Hindia saja Pribumi sudah jauh tertinggal.
Pada akhirnya Mei jatuh sakit lagi karena
begitu banyak kegiatan yang ia lakukan, hingga akhirnya ia meninggal dunia dan
Minke dikeluarkan dari sekolah dokter karena terbukti membuat resep obat untuk
Mei. Hal ini dipandang sebagai pelanggaran karena Minke belum menjadi seorang
dokter. Akhirnya Minke keluar dari sekolah dokter dengan membayar biaya ganti
rugi selama belajar di asrama. Ia mulai bangkit dan membentuk sebuah organisasi
dengan meminta bantuan dari berbagai pihak. Ia mendirikan organisasi pertamanya
dengan nama Syarikat Priyayi yang beranggotakan beberapa teman sekolah dokter,
kaum priyayi dan wedana. Dan lahirlah organisasi Syarikat Priyayi di pendopo
Patih Meester Cornelis. Organisasi kaum pribumi yang disahkan oleh Gubermen. Dari
sini mulai terbit Koran mingguan Medan Priyayi yang berisi penyampaian
berita-berita organisasi. Medan priyayi segera mendapat perhatian dari
masyarakat. Namun pada perjalanan Syarikat Priyayi mengalami kemacetan, hal ini
dipandang karena anggota yang vakum, terdiri dari orang-orang yang statis. Namun
demikian, Minke berhasil menyelamatkan Medan Priyayi sehingga tetap terbit.
Suatu
ketika, kemudian ia didatangi teman sewaktu sekolah di STOVIA yang bernama
Raden Tomo dan sering dikenal dengan dr. Soetomo untuk dimintai pendapat
mengenai pembentukan organisasi Budi Oetomo (B.O.). Raden Tomo menawarkan Minke
untuk bergabung, hingga akhirnya Minke bergabung dan dikemudian hari ia
memutuskan untuk keluar dari organisasi tersebut karena berlainan prinsip.
Minke
tetap tak patah semangat, semenjak vakumnya Syarikat Priyayi ia terus
mempelajari apa yang dapat menyatakukan kaum pribumi dalam suatu wadah
organisasi. Nyatanya sekumpulan priyayi belum mampu bersatu dan mengusung
organisasi yang ia impikan dapat berjalan lancar, namun demikian Medan Priyayi
masih terus tercetak dan ia tetap berjuang ditemani seorang yang setia
menemaninya, Sandiman, seorang mantan prajurit Legiun Mangkunegaran Sala yang
mengabdikan diri padanya. Mereka berpindah ke Bogor.
Suatu
waktu seorang gadis belia putri Raja Kasiruta, Maluku datang untuk meminta
bantuan agar ia dan ayahnya yang telah dibuang di negri Priangan ini bisa
kembali lagi ke asalnya. Kebijakan itu tentu harus keluar dari Gubernur Jendral
Van Heutz. Waktu itu terdengar kabar oleh keluarga raja tersebut bahwa Minke
dekat dengan Gubernur Jendral, hingga ia mengutus puterinya untuk meminta
bantuan tersebut kepada Minke. Namun ternyata Gubernur Jenderal tidak
meluluskan permohonan tersebut, malah meminta Minke menikahi puterinya. Hingga ia
menyampaiakan maksud Gubernur Jenderal kepada Raja dengan datang langsung ke
Sukabumi, tanpa bercerita bahwa Minke lah yang diminta untuk menikahinya, ia
hanya bercerita bahwa Gubernur Jenderal bertitah sang Prinses diminta untuk
segera menikah. Akhirnya sang Raja meminta Minke untuk menikahinya, dan
menikahlah Minke dengan Prinses Dede Maria Futimma de Suusa. Hingga hari-harinya
kini ditemani oleh Prinses yang setia menjadi teman berdiskusi dan mengabdikan
dirinya sepenuhnya kepada suaminya, ia membantu dalam redaksi.
Sumber : Wikipedia
Minke
tetap berpikir dasar apa yang dapat menyatukan organisasi, mulai kaum priyayi
yang akhirnya macet, agama, kaum Indisch dan akhirnya perdagangan. Hingga
akhirnya ia menyadari bahwa perdagangan juga merupakan alat pemersatu dan
merupakan kunci kemakmuran kemajuan suatu bangsa. Berdirilah Syarikat Dagang
Islamiyah (S.D.I.). Seiring berjalannya waktu, tak disangka ternyata S.D.I.
berkembang pesat, bahkan hingga Asia Tenggara. Keanggotaanya mencapai ribuan
dan mencakup berbagai daerah di Hindia. Disini berbagai gejolak pun muncul.
Hingga muncul gerombolan yang merusak dan mengancam keamanaan di Hindia akibat
meluasnya S.D.I. ini, mulai dari De
Knijper yang ternyara didalangi oleh Robert Suuhorf (tokoh yang mempunyai
masalah dengan Minke, diceritakan pada tetralogi buru edisi Anak Semua Bangsa), kemudian T.A.I. dan
sampai pada gerombolan De Zweep
(dalam Belanda berarti si Cambuk). Kekerasan yang ditimbulkan mendorong anggota
S.D.I. belajar bela diri, yaitu pencak silat. Pencak silat mulai berkembang dan
dipelajari oleh kaum pribumi untuk membela diri dari ancaman gerombolan
pengacau tersebut.
Medan
Priyayi terbit harian, menyampaikan berbagai informasi dan edukasi. Salah
satunya menyampaikan beberapa kenyataan dan keadilan dalam hukum. Tentu dengan
ahli hukum yang menjadi konsultan Minke, yaitu Hendrik Frischboten, seorang
suami dari sahabatnya, Mir. Hingga banyak sekali kasus yang ditangani dan
disidangkan. Medan Priyayi menyebarluasakan kejadian beberapa orang yang tidak
mendapat perlakuan yang adil, hal ini menjadi gerakan yang spontan direspon
baik oleh masyarakat dan menyebarkan benih keberanian. Namun pihak Gubermen
merasa dirugikan hingga muncul beberapa permasalahan.
Medan
Priyayi mulai mengalami persaingan dengan media baru organisasi Tionghoa yang
muncul, Koran Sin Po. Akhirnya berbagai strategi dilakukan oleh Minke dan
kawan-kawan redaksinya, ia menerbitkan Hikayat Siti Aini dari Hadji Moeloek
yang akhirnya berhasil menaikkan rating Medan Priyayi lagi.
Ketua-ketua
S.D.I. cabang Sala, Yogyakarta dan kota-kota lain di mana perdagangan usaha
Pribumi telah dikembangkan dipanggil oleh Minke ke Buitenzorg untuk diadakan konferensi.
Putusan konferensi menyetujui Minke melakukan kerja propaganda, dengan
ketentuan harus disertai istri. Kedua Pimpinan Umum Syarikat, Minke,
menyerahkan mandat pimpinan pusat kepada Hadji Samadi di Sala. Minke akan
menjalankan propaganda di negeri-negeri termasuk Singapura, Malaya, Siam dan
Filipina, para wakil pimpinan cabang melakukan propaganda besar-besaran di
daerah masing-masing. Sementara redaksi “Medan” diserahkan kepada Sandiman,
Marko dan Frischboten.
Ia
bicarakan hal itu kepada istrinya, hingga istrinya menyetujui untuk ikut serta
dalam perjalanannya. Dua hari lagi mereka berangkat dan sang istri meminta diri
untuk menginap di rumah keluarganya terlebih dahulu di Sukabumi sebelum
keberangkatan. Minke mengijinkan, dan ia tetap tinggal di rumah.
Takdir berkata lain. Beberapa hari setelah konferensi dan pendelegasian propaganda, Medan terkena musibah. Medan telah memuat berita yang menggemparkan, ia menghinakan Gubernur Jenderal yang baru. Akhirnya Medan pun dipretel. Dan Minke ?
Paginya
rumah Minke didatangi polisi dan diberikannya surat penahanan atas “Hutang
bangsa Tuan Minke, yang diatas namakan pribadi Tuan”. Kejadian ini sangat
dramatis, hingga Minke dibawa, ia menyempatkan menuliskan sepucuk surat kepada
istrinya melalui pembantu rumahtangganya, Piah. Yah Minke akan dibuang dari
Pulau Jawa.
PS
: Hah, akhir halaman buku ini membuat air mata saya menetes. Perjuangan Minke
yang luar biasa, ia tahan banting dan tak kenal putus asa. Buku sejarah yang
menyuguhkan cerita yang tak pernah tertulis di LKS, saya menikmati sekali karya
sastra Pramoedya Ananta Toer ini. Kisahnya dikemas dengan sangat urut dan
penyajian ceritanya membuat saya bersemangat dan tidak ingin tidak
menyelesaikan bukunya. Yah, bahwa sukses bukan hadiah Cuma-Cuma dari para Dewa,
dia hanya akibat dari kerja keras, belajar dan berdo’a.
Salam
:)
No comments:
Post a Comment