Thursday, 30 October 2014

Resensi Jejak Langkah (Roman Tetralogi Buru ketiga) Karya Pramoedya Ananta Toer


Masih dengan tokoh utama yang sama, lelaki pribumi yang memiliki idealism tinggi dan pemikiran-pemikiran yang sering meloncat jauh kedepan, mengikuti cara berpikir orang modern dan kaum intelek. Minke. Di Tetralogi buru yang ketiga ini, Jejak Langkah mengambil setting tempat kebanyakan di Betawi, Buitenzorg (sekarang Bogor), Bandung, meskipun ada juga beberapa tempat yang melatari beberapa kejadian dalam buku ini seperti, Sukabumi, Yogyakarta, Semarang, Jepara, Rembang,dan  Sala (Surakarta).
Jejak Langkah menceritakan tentang pergerakan organisasi yang dipelopori oleh kaum pribumi yang memperkenalkan nasionalisme. Minke memobilisasi segala daya untuk melawan bercokolnya kekuatan Hindia yang sudah berabad-abad umurnya. Namun Minke tak pilih perlawanan bersenjata. Ia memilih jalan jurnalistik dengan membuat sebanyak-banyaknya bacaan Pribumi. Yang paling terkenal tentu saja Medan Prijaji. Dengan Koran ini, Minke berseru-seru kepada rakyat Pribumi tiga hal : meningkatkan boikot, berorganisasi, dan menghapuskan kebudayaan feodalistik. Sekaligus lewat langkah jurnalistik, Minke berseru-seru : “Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan.”

Berikut Resensinya :
Hijrahnya Minke dari Wonokromo menuju Betawi untuk menempuh pendidikan dokter di STOVIA, yang dibiayai oleh Gubermen. Hal ini memaksa Minke berpisah dengan Nyai Ontosoroh, Mama mertua yang mengajarkan begitu banyak kehidupan dan lika-likunya. Di Betawi ia hidup di asrama dengan segala peraturan dan tata tertib yang sering dilanggarnya, ia belajar dan tetap mengasah kemampuan menulisnya. Salah satu langkah permulaan hingga ia terlibat sangat jauh dalam dunia jurnalis di Betawi adalah ajakan dari sahabatnya yang datang langsung dari Semarang, Ter Haar, untuk mengikuti undangan diskusi dan pertemuan di Kamarbola De Harmonie. Hal itu menjadi spesial karena narasumbernya adalah Jenderal Van Heutz dan seorang anggota Tweede Kamer, Van Kollewijn, Orang yang dipandang sangat berjasa pada Hindia, katanya, telah berhasil melahirkan segi-segi kehidupan baru bagi Pribumi. Sekalipun, ya, sekalipun gula yang paling banyak menikmati jasa-jasanya. Pada diskusi ini akhirnya Minke mudah dikenal oleh Jendral Van Heutz.
Setiap akhir pekan para siswa diperbolehkan keluar asrama, dan Minke lebih sering bergentayangan di Waterloo Plain (sekarang lapangan Banteng) untuk sekedar mendengarkan musik. Kalau keluar dari halaman sekolah orang akan menghafalkan wajah-wajah para siswa, mereka pemburu menantu calon dokter. Hingga akhirnya Minke memutuskan tempat tinggal untuk setiap akhir pekan, ia memilih mendatangi Ibu Badrun, wanita tua, janda, dan hidup bersama dua orang anak lelaki pungut. Disini ia banyak menghabiskan waktu untuk menulis dan membaca.
Suatu waktu ia mengingat mendiang Khow Ah Soe, keturunan Tiongkok yang berjuang di Hindia, mendiang sahabatnya yang ia kenal di Surabaya itu menitipkan surat yang ditujukan untuk seorang gadis Tiongkok yang kini tinggal di Betawi. Akhirnya ia mencari alamatnya dan mengantarkan surat tersebut. Kepada Ang Son Mei surat itu ditujukan, dan akhirnya bertemu dengan segala upaya, sampai akhirnya Minke menikah lagi dengan gadis pejuang Tiongkok yang tergabung dalam organisasi Tionghoa Hwee Koan ini.
Mei, begitu ia akrab disapa, menjadi istri yang baik dan telah dikenalkan kepada keluarga Minke di kota B. Mereka berkunjung ke rumah gadis Jepara yang pernah beberapa kali menyurati Mei, bertukar pikiran dan berdiskusi. Hingga kini mereka tinggal di Betawi, di rumah ibu Badrun. Minke mulai mengatur waktu untuk tinggal di asrama dan di rumah ibu Badrun. Sedangkan Mei pun mulai aktif dalam organisasinya lagi. Setelah memperistri gadis Tionghoa tersebut, pemikiran Minke menjadi semakin kritis dan tajam kepada Belanda. Terinspirasi dari beberapa gerakan Angkatan Muda Tiongkok, perlayanan rakyat Filipina terhadap penjajahan Spanyol, dan kemajuan pesat bangsa Jepang di belahan bumi utara.
Suatu ketika mereka mengikuti seminar dengan narasumber pensiunan dokter jawa yang menyuntikkan semangat berorganisasi, pensiunan dokter jawa ini menceritakan pergerakan kaum Tionghoa. Ia menjelaskan dan memberi semangat agar pemuda pribumi membentuk organisasi seperti yang telah dilakukan penduduk Tionghoa di Hindia. Menyadari ketertinggalan pribumi, karena organisasi dipandang sangat perlu. Ketertinggalan yang semakin menjadi, jangankan dengan bangsa Asia, Jepang, yang saat itu sudah dipandang sederajat dengan bangsa Eropa, dengan golongan Tionghoa dan Arab di Hindia saja Pribumi sudah jauh tertinggal.
 Pada akhirnya Mei jatuh sakit lagi karena begitu banyak kegiatan yang ia lakukan, hingga akhirnya ia meninggal dunia dan Minke dikeluarkan dari sekolah dokter karena terbukti membuat resep obat untuk Mei. Hal ini dipandang sebagai pelanggaran karena Minke belum menjadi seorang dokter. Akhirnya Minke keluar dari sekolah dokter dengan membayar biaya ganti rugi selama belajar di asrama. Ia mulai bangkit dan membentuk sebuah organisasi dengan meminta bantuan dari berbagai pihak. Ia mendirikan organisasi pertamanya dengan nama Syarikat Priyayi yang beranggotakan beberapa teman sekolah dokter, kaum priyayi dan wedana. Dan lahirlah organisasi Syarikat Priyayi di pendopo Patih Meester Cornelis. Organisasi kaum pribumi yang disahkan oleh Gubermen. Dari sini mulai terbit Koran mingguan Medan Priyayi yang berisi penyampaian berita-berita organisasi. Medan priyayi segera mendapat perhatian dari masyarakat. Namun pada perjalanan Syarikat Priyayi mengalami kemacetan, hal ini dipandang karena anggota yang vakum, terdiri dari orang-orang yang statis. Namun demikian, Minke berhasil menyelamatkan Medan Priyayi sehingga tetap terbit.
Suatu ketika, kemudian ia didatangi teman sewaktu sekolah di STOVIA yang bernama Raden Tomo dan sering dikenal dengan dr. Soetomo untuk dimintai pendapat mengenai pembentukan organisasi Budi Oetomo (B.O.). Raden Tomo menawarkan Minke untuk bergabung, hingga akhirnya Minke bergabung dan dikemudian hari ia memutuskan untuk keluar dari organisasi tersebut karena berlainan prinsip.
Minke tetap tak patah semangat, semenjak vakumnya Syarikat Priyayi ia terus mempelajari apa yang dapat menyatakukan kaum pribumi dalam suatu wadah organisasi. Nyatanya sekumpulan priyayi belum mampu bersatu dan mengusung organisasi yang ia impikan dapat berjalan lancar, namun demikian Medan Priyayi masih terus tercetak dan ia tetap berjuang ditemani seorang yang setia menemaninya, Sandiman, seorang mantan prajurit Legiun Mangkunegaran Sala yang mengabdikan diri padanya. Mereka berpindah ke Bogor.
Suatu waktu seorang gadis belia putri Raja Kasiruta, Maluku datang untuk meminta bantuan agar ia dan ayahnya yang telah dibuang di negri Priangan ini bisa kembali lagi ke asalnya. Kebijakan itu tentu harus keluar dari Gubernur Jendral Van Heutz. Waktu itu terdengar kabar oleh keluarga raja tersebut bahwa Minke dekat dengan Gubernur Jendral, hingga ia mengutus puterinya untuk meminta bantuan tersebut kepada Minke. Namun ternyata Gubernur Jenderal tidak meluluskan permohonan tersebut, malah meminta Minke menikahi puterinya. Hingga ia menyampaiakan maksud Gubernur Jenderal kepada Raja dengan datang langsung ke Sukabumi, tanpa bercerita bahwa Minke lah yang diminta untuk menikahinya, ia hanya bercerita bahwa Gubernur Jenderal bertitah sang Prinses diminta untuk segera menikah. Akhirnya sang Raja meminta Minke untuk menikahinya, dan menikahlah Minke dengan Prinses Dede Maria Futimma de Suusa. Hingga hari-harinya kini ditemani oleh Prinses yang setia menjadi teman berdiskusi dan mengabdikan dirinya sepenuhnya kepada suaminya, ia membantu dalam redaksi.
Sumber : Wikipedia

Minke tetap berpikir dasar apa yang dapat menyatukan organisasi, mulai kaum priyayi yang akhirnya macet, agama, kaum Indisch dan akhirnya perdagangan. Hingga akhirnya ia menyadari bahwa perdagangan juga merupakan alat pemersatu dan merupakan kunci kemakmuran kemajuan suatu bangsa. Berdirilah Syarikat Dagang Islamiyah (S.D.I.). Seiring berjalannya waktu, tak disangka ternyata S.D.I. berkembang pesat, bahkan hingga Asia Tenggara. Keanggotaanya mencapai ribuan dan mencakup berbagai daerah di Hindia. Disini berbagai gejolak pun muncul. Hingga muncul gerombolan yang merusak dan mengancam keamanaan di Hindia akibat meluasnya S.D.I. ini, mulai dari De Knijper yang ternyara didalangi oleh Robert Suuhorf (tokoh yang mempunyai masalah dengan Minke, diceritakan pada tetralogi buru  edisi Anak Semua Bangsa), kemudian T.A.I. dan sampai pada gerombolan De Zweep (dalam Belanda berarti si Cambuk). Kekerasan yang ditimbulkan mendorong anggota S.D.I. belajar bela diri, yaitu pencak silat. Pencak silat mulai berkembang dan dipelajari oleh kaum pribumi untuk membela diri dari ancaman gerombolan pengacau tersebut.
Medan Priyayi terbit harian, menyampaikan berbagai informasi dan edukasi. Salah satunya menyampaikan beberapa kenyataan dan keadilan dalam hukum. Tentu dengan ahli hukum yang menjadi konsultan Minke, yaitu Hendrik Frischboten, seorang suami dari sahabatnya, Mir. Hingga banyak sekali kasus yang ditangani dan disidangkan. Medan Priyayi menyebarluasakan kejadian beberapa orang yang tidak mendapat perlakuan yang adil, hal ini menjadi gerakan yang spontan direspon baik oleh masyarakat dan menyebarkan benih keberanian. Namun pihak Gubermen merasa dirugikan hingga muncul beberapa permasalahan.
Medan Priyayi mulai mengalami persaingan dengan media baru organisasi Tionghoa yang muncul, Koran Sin Po. Akhirnya berbagai strategi dilakukan oleh Minke dan kawan-kawan redaksinya, ia menerbitkan Hikayat Siti Aini dari Hadji Moeloek yang akhirnya berhasil menaikkan rating Medan Priyayi lagi.
Ketua-ketua S.D.I. cabang Sala, Yogyakarta dan kota-kota lain di mana perdagangan usaha Pribumi telah dikembangkan dipanggil oleh Minke ke Buitenzorg untuk diadakan konferensi. Putusan konferensi menyetujui Minke melakukan kerja propaganda, dengan ketentuan harus disertai istri. Kedua Pimpinan Umum Syarikat, Minke, menyerahkan mandat pimpinan pusat kepada Hadji Samadi di Sala. Minke akan menjalankan propaganda di negeri-negeri termasuk Singapura, Malaya, Siam dan Filipina, para wakil pimpinan cabang melakukan propaganda besar-besaran di daerah masing-masing. Sementara redaksi “Medan” diserahkan kepada Sandiman, Marko dan Frischboten.
Ia bicarakan hal itu kepada istrinya, hingga istrinya menyetujui untuk ikut serta dalam perjalanannya. Dua hari lagi mereka berangkat dan sang istri meminta diri untuk menginap di rumah keluarganya terlebih dahulu di Sukabumi sebelum keberangkatan. Minke mengijinkan, dan ia tetap tinggal di rumah.
Takdir berkata lain. Beberapa hari setelah konferensi dan pendelegasian propaganda, Medan terkena musibah. Medan telah memuat berita yang menggemparkan, ia menghinakan Gubernur Jenderal yang baru. Akhirnya Medan pun dipretel. Dan Minke ?

Paginya rumah Minke didatangi polisi dan diberikannya surat penahanan atas “Hutang bangsa Tuan Minke, yang diatas namakan pribadi Tuan”. Kejadian ini sangat dramatis, hingga Minke dibawa, ia menyempatkan menuliskan sepucuk surat kepada istrinya melalui pembantu rumahtangganya, Piah. Yah Minke akan dibuang dari Pulau Jawa.

PS : Hah, akhir halaman buku ini membuat air mata saya menetes. Perjuangan Minke yang luar biasa, ia tahan banting dan tak kenal putus asa. Buku sejarah yang menyuguhkan cerita yang tak pernah tertulis di LKS, saya menikmati sekali karya sastra Pramoedya Ananta Toer ini. Kisahnya dikemas dengan sangat urut dan penyajian ceritanya membuat saya bersemangat dan tidak ingin tidak menyelesaikan bukunya. Yah, bahwa sukses bukan hadiah Cuma-Cuma dari para Dewa, dia hanya akibat dari kerja keras, belajar dan berdo’a.
Salam :)


No comments:

Post a Comment