Tetralogi
Buru memang merupakan roman sekuel, dan anak semua bangsa adalah episode kedua
yang menceritakan sisi lain dari sejarah lampau. Saran saya memang sebaiknya
membaca urut sekuel ini, meskipun saya sendiri memulai dari yang kedua dulu,
baru ketiga, mengingat sulitnya menemukan buku ini dimasa sekarang.
Anak
Semua Bangsa lebih menceritakan kepada kisah hidup Minke dan keluarganya yang
memperoleh perlakuan tidak adil dari Belanda dan ketidakadilan lain yang mulai terkuak dimata Minke. Annelies, istri Minke yang merupakan
puteri dari Tuan Mellema (seorang Eropa) dan Nyai Ontosoroh (Pribumi), menderita sakit
dan dititahkan oleh Ir. Maurits Mellema, wali hukum yang sah dari keluarga
ayahnya untuk Annelies, untuk berobat ke
Nederland. Surat kuasa atas Annelies memang jatuh di keluarga mendiang ayahnya,
sementara Nyai Ontosoroh dan Minke hanya mampu pasrah di rumah. Namun sang Nyai
Ontosoroh tak begitu saja melepaskan Annelies pergi, ia mengutus seorang yang
dimintanya untuk menjaga Annelies, Jan Dapperste atau Pandji Darman, agar
Annelies tidak merasa sendiri. Dengan berbagai perjuangan akhirnya ketika di
kapal menuju Nederland, Pandji Darman berhasil masuk ke ruangan Annelies atas
permintaan perawatnya, mulai dari situ Pandji Darman terus mengurus Annelies
sekuat tenaga, meskipun Annelies menunjukkan semangat hidup yang rendah. Pandji
Darman mengirimkan laporan atas keadaan Annelies kepada Minke dan Nyai
Ontosoroh. Annelies yang tidak bersedia makan dan hanya berdiam diri di atas
ranjang.
Setibanya
di Nederland, Annelies dijemput oleh seorang wanita tua di rumahnya, sementara
walinya tidak merawatnya dengan baik. Ikutlah Pandji Darman ke tempat Annelies
dibawa. Tidak lama kemudian Annelies meninggal dunia.
Suatu
ketika Minke membereskan surat-surat dan barang-barang Annelies, disitu ia
menemukan beberapa surat yang membuatnya cemburu, surat itu ditujukan kepada
Annelies, dari Robert Suurhorf. Minke menemukan hadiah pernikahannya dengan
Annelies yang datang dari Robert Suurhorf. Ia berencana untuk mengembalikan
cincin tersebut kepada keluarga Robert Surhorf, karena cincin itu dirasa
terlalu mahal. Namun Bapak Robert Surhorf menolaknya dan Minke menyerahkan
cincin hasil curian Robert Suurhorf tersebut kepada polisi.
Meninggalnya
Annelies merupakan pukulan keras bagi Minke dan Nyai Ontosoroh. Minke tidak
lagi bersemangat membaca dan menulis. Sementara dari belahan bumi lain mulai
beredar kabar bahwa kedudukan Jepang kini sudah setara dengan kedudukan Eropa.
Seiring
berjalannya waktu, Minke mulai bangkit dan kembali menulis di S.N. v/d D., Sahabat
Minke yang lain tak lain adalah Jean Marais, seorang seniman terkemuka berkebangsaan
Perancis dengan tongkat sebagai penopang kakinya meminta Minke agar menulis
dalam bahasa Melayu, tidak melulu dalam bahasa Belanda, agar masyarakat pribumi
bisa membaca dan memahami karyanya. Namun Minke merasa bahasa Belanda
kedudukannya lebih tinggi dibandingkan bahasa Melayu. Percakapan terjadi agak
memanas, hingga hubungannya dengan Jean Marais mulai merenggang, dan muncullah
penengah diantara keduanya, Maysaroh, putri semata wayang Jean Marais.
Khoe
Ah Soe, seorang aktivis dari Tionghoa yang berjiwa nasionalisme tinggi datang
ke Wonokromo, dan Minke diminta oleh atasannya di S.N. v/d D., Martin Nijman,
untuk mewawancarai Khoe Ah Soe dalam bahasa Inggris. Namun tulisannya lantas
dibelokkan oleh Nijman, sang Eropa licik
yang menghalalkan segala cara. Nijman menerbitkan tulisan yang bertolak
belakang dengan hasil wawancara Minke kepada Khoe Ah Soe, terbitan tersebut
menyebutkan bahwa Khoe Ah Soe adalah pelarian dan datang secara Ilegal di
Hindia ini. Tak lama kemudian Khoe Ah Soe dikabarkan menjadi buronan. Nyai
Ontosoroh dam Minke kemudian melindungi Khoe Ah Soe di rumahnya, dengan bantuan
Darsam, penjaga keamanan Nyai Ontosoroh selama ini, Khoe Ah Soe dalam
pengawasan dan perlindungannya . Minke kaget dengan pemberitaan yang dirilis
oleh Nijman tersebut, dari hal ini Minke belajar menerima kenyataan atas nasehat
dari Nyai Ontosoroh, bahwa begitulah Eropa, licik !
Untuk
mengurangi beban pikiran yang terjadi selama ini, Nyai Ontosoroh mengajak Minke
untuk berlibur ke Tulangan, Sidoarjo. Nyai Ontosoroh memutuskan untuk mengajak
Minke menginap di rumah saudaranya, Sastro Kassier, seorang pegawai pabrik gula
di daerah setempat. Begitu banyak wanita pribumi yang dijadikan gundik Tuan
gula dan orang-orang Belanda, termasuk juga Nyai Ontosoroh yang dulu terpaksa
menikah dengan Tuan Administratur Mellema. Nasib sial itu kini menimpa anak
Sastro Kassier, Surati, keadaan yang telah diatur dengan licik memaksanya
menyerahkan diri kepada Frits Homerus Vleekenbaiji, administrator pabrik gula
daerah setempat, yang memfitnah ayah Surati telah mencuri uang gaji kuli-kuli
pabrik. Vleekenbaiji bersedia membantu
melunasi hutang-hutang Sastro Kassier dengan syarat. Jebakan tersebut memaksa
Sastro Kassier menyerahkan puterinya. Namun Surati memang gadis cerdas, malam
harinya ia memohon diri kepada orang tuanya untuk meninggalkan rumah mencari
wangsit, sepanjang malam ia berjalan dan akhirnya menuju suatu perkampungan
yang terisolir, semua penduduk kampung ini tidak boleh keluar dari area yang
telah dibatasi, pun penduduk luar dilarang masuk kampung ini karena wabah cacar
yang waktu itu belum ditemukan obatnya. Pihak Gubermen berencana akan
mendiamkan perkampungan itu hingga cacar memakan tubuh-tubuh tak berdosa
penduduk kampung sampai meninggal. Surati memasuki perkampungan itu, dan ia
sengaja menularkan diri agar terkena cacar dari tempat ini. Kemudian, kekejian
Belanda datang lagi, mereka mendatangi perkampungan ini untuk membakar dan
melenyapkan kampung beserta isinya agar wabah cacar tidak menyebar. Terkutuk !
Surati berhasil keluar dari tempat itu dan menyerahkan diri kepada Plikemboh,
julukan untuk Vleekenbaiji. Akhirnya Plikemboh tertular wabah cacar dan
meninggal dunia.
Sudut
pandang Minke akan keagungan Eropa dan Belanda mulai bergeser. Suatu ketika ia
memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitaran daerah rumah Sastro Kassier,
hingga akhirnya ia bertemu dengan Trunodongso, petani penentang yang tidak
ingin menyewakan tanahnya kepada pabrik gula. Ia tinggal bersama anak dan
istrinya, akhirnya Minke memutuskan untuk menginap di tempat Trunodongso dan
menggali lebih dalam informasi yang sedang terjadi di lapangan. Ketidak adilan
terjadi pada kaum tani, mereka dipaksa menyewakan tanah untuk ditanami tebu
kepada pabrik gula, dengan kesepakatan waktu sewa yang selalu dilanggar oleh pihak
pabrik gula, pun demikian upah sewa yang tidak sesuai membuat Trunodongso juga
enggan untuk menyewakan tanahnya. Minke berjanji kepada Trunodongso untuk
membantu kesulitannya, salah satunya dengan menulis dan memberitakan kejadian
ini melalui media.
Nyai
Ontosoroh dan Minke kembali ke Wonokromo, dan mendapati kabar dari Darsam bahwa
Khoe Ah Soe telah meninggal dunia. Khoe Ah Soe menitipkan surat kepada Minke,
agar suatu saat surat itu diberikan kepada seorang gadis di Betawi. Minke dan Nyai
Ontosoroh pun terpukul dengan meninggalnya orang baik dan pintar seperti Khoe
Ah Soe. Minke berencana menerbitkan tulisan tentang Trunodongso, namun ternyata
Nijman menolak. Nijman yang seorang Belanda jelas menghindari berita yang
menyudutkan gula. Minke mulai
berdamai dengan kenyataan.
Minke
memutuskan untuk pergi ke Semarang, melalui jalur laut, dan di kapal ia bertemu
seorang jurnalis bernama Ter Haar, mereka berdiskusi cerdas mengenai kisah
Belanda, kelicikan dan tujuannya menjajah Hindia. Minke ingin pergi ke sebuah
kantor Koran di Semarang, namun sayang ia diciduk polisi dan harus kembali ke
Wonokromo untuk kembali ke rumah Nyai Ontosoroh.
Saat
kepergian Minke, Nyai Ontosoroh dihadapkan pada sebuah kenyataan pelik lagi.
Nyai Ontosoroh mengetahui kenyataan pembunuhan kepada camat Sidoarjo, yang ia
duga pembunuhnya tak lain adalah mendiang suaminya, Herman Hellema. Saat Minke
sampai di rumah Nyai Ontosoroh lagi, Nyai Ontosoroh bercerita tentang kenyataan
lain lagi, bahwa Robert, anak Nyai Ontosoroh yang lain, saudara dari Annelies
Mellema meninggalkan benih yang kini telah mampu melihat dunia kepada Minem. Sementara
Robert sendiri diberitakan telah meninggal dan jasadnya tak pernah pulang, ia
berkeliling Eropa. Bayi mungil itu dinamai Rono. Kini Rono dan Minem menetap di
rumah Nyai Ontosoroh, namun tak lama kemudian Minem memutuskan untuk pergi dari
Wonokromo dan si Rono dalam asuhan Nyai Ontosoroh.
Tak
lama setelah Minke pulang, mereka harus menghadapi Ir. Maurits Mellema, anak
resmi dari Tuan administratur Mellema dengan istri pertamanya. Nyai Ontosoroh
dan Minke didampingi sahabat-sahabatnya, Pandji Darman, Jean Marais, Maysaroh, Kommer
dan tak luput Darsam ikut serta dalam penyambutannya kepada Mairuts Mellema.
Ir. Maurits Mellema yang seharusnya
bertanggung jawab atas kematian Annelies, ia adalah wali Annelies yang
merencanakan pembunuhan perlahan kepada Annellies terkait dengan perebutan
warisan perusahaan Mellema. Kini ia datang untuk menuntut haknya atas warisan
tersebut. Serangan cerdas dengan kalimat tajam mereka hardikkan kepada Ir.
Maurits Mellema hingga membuatnya gentar dan menunda pengusiran keluarga Nyai
Ontosoroh dari rumahnya.
Masalah
lain yang harus dihadapi adalah persidangan Minke, Nyai Ontosoroh dengan Robert
Suurhorf yang akhirnya dimenangkan pihak Minke. Robert Suurhorf dipenjara
dengan berbagai kasus yang telah terjadi.
Berbagai
kasus dan kenyataan yang menguak kekejian Belanda dengan cara liciknya mengubah
sudut pandang Minke. Ia mulai berdamai dengan kenyataan bahwa Eropa yang telah
diagung-agungkannya dan kemajuan ilmu pengetahuannya yang selalu dianggapnya
benar kini bergeser. Ia sadar sebagai Pribumi yang terpelajar harusnya membela siapa.
Dan akhirnya ia memutuskan untuk berangkat ke Betawi untuk belajar di sekolah
dokter STOVIA. Dan Trunodongso beserta keluarganya kini di rumah Nyai Ontosoroh
meminta perlindungan.
NB
: Begitu takut Pribumi dengan makhluk Eropa yang bersepatu dan berbaju necis,
sementara Pribumi dengan baju adat tanpa alas kaki yang selalu menunduk dan
menaruh rasa hormat kepada orang-orang licik tersebut. Betapa nanti kecerdasan
pemuda akan dapat mengubah dan menanamkan kepercayaan diri menghadapi Belanda.
Buku ini menyuguhkan semangat dan kenyataan pahit pada masanya.
Orang bilang, apa yang ada di depan manusia hanya jarak. Dan batasnya adalah ufuk. Begitu jarak ditempuh, sang ufuk menjauh. Yang tertinggal jarak itu juga -- abadi. Di depan sana ufuk yang itu juga -- abadi. Tak ada romantika cukup kuat untuk dapat menaklukkan dan menggenggamnya dalam tangan - jarak dan ufuk abadi itu. -Pram-
Tabik !
Orang bilang, apa yang ada di depan manusia hanya jarak. Dan batasnya adalah ufuk. Begitu jarak ditempuh, sang ufuk menjauh. Yang tertinggal jarak itu juga -- abadi. Di depan sana ufuk yang itu juga -- abadi. Tak ada romantika cukup kuat untuk dapat menaklukkan dan menggenggamnya dalam tangan - jarak dan ufuk abadi itu. -Pram-
Tabik !
Mbak boleh minta izin share
ReplyDeleteboleh mba, monggo dengan senang hati :)
Delete