Friday, 31 October 2014

Resensi Anak Semua Bangsa (Roman Tetralogi Buru Kedua) Karya Pramoedya Ananta Toer

Tetralogi Buru memang merupakan roman sekuel, dan anak semua bangsa adalah episode kedua yang menceritakan sisi lain dari sejarah lampau. Saran saya memang sebaiknya membaca urut sekuel ini, meskipun saya sendiri memulai dari yang kedua dulu, baru ketiga, mengingat sulitnya menemukan buku ini dimasa sekarang.


Anak Semua Bangsa lebih menceritakan kepada kisah hidup Minke dan keluarganya yang memperoleh perlakuan tidak adil dari Belanda dan ketidakadilan lain yang mulai terkuak dimata Minke. Annelies, istri Minke yang merupakan puteri dari Tuan Mellema (seorang Eropa)  dan Nyai Ontosoroh (Pribumi), menderita sakit dan dititahkan oleh Ir. Maurits Mellema, wali hukum yang sah dari keluarga ayahnya untuk Annelies, untuk berobat  ke Nederland. Surat kuasa atas Annelies memang jatuh di keluarga mendiang ayahnya, sementara Nyai Ontosoroh dan Minke hanya mampu pasrah di rumah. Namun sang Nyai Ontosoroh tak begitu saja melepaskan Annelies pergi, ia mengutus seorang yang dimintanya untuk menjaga Annelies, Jan Dapperste atau Pandji Darman, agar Annelies tidak merasa sendiri. Dengan berbagai perjuangan akhirnya ketika di kapal menuju Nederland, Pandji Darman berhasil masuk ke ruangan Annelies atas permintaan perawatnya, mulai dari situ Pandji Darman terus mengurus Annelies sekuat tenaga, meskipun Annelies menunjukkan semangat hidup yang rendah. Pandji Darman mengirimkan laporan atas keadaan Annelies kepada Minke dan Nyai Ontosoroh. Annelies yang tidak bersedia makan dan hanya berdiam diri di atas ranjang.

Setibanya di Nederland, Annelies dijemput oleh seorang wanita tua di rumahnya, sementara walinya tidak merawatnya dengan baik. Ikutlah Pandji Darman ke tempat Annelies dibawa. Tidak lama kemudian Annelies meninggal dunia.

Suatu ketika Minke membereskan surat-surat dan barang-barang Annelies, disitu ia menemukan beberapa surat yang membuatnya cemburu, surat itu ditujukan kepada Annelies, dari Robert Suurhorf. Minke menemukan hadiah pernikahannya dengan Annelies yang datang dari Robert Suurhorf. Ia berencana untuk mengembalikan cincin tersebut kepada keluarga Robert Surhorf, karena cincin itu dirasa terlalu mahal. Namun Bapak Robert Surhorf menolaknya dan Minke menyerahkan cincin hasil curian Robert Suurhorf tersebut kepada polisi.

Meninggalnya Annelies merupakan pukulan keras bagi Minke dan Nyai Ontosoroh. Minke tidak lagi bersemangat membaca dan menulis. Sementara dari belahan bumi lain mulai beredar kabar bahwa kedudukan Jepang kini sudah setara dengan kedudukan Eropa.

Seiring berjalannya waktu, Minke mulai bangkit dan kembali menulis di S.N. v/d D., Sahabat Minke yang lain tak lain adalah Jean Marais, seorang seniman terkemuka berkebangsaan Perancis dengan tongkat sebagai penopang kakinya meminta Minke agar menulis dalam bahasa Melayu, tidak melulu dalam bahasa Belanda, agar masyarakat pribumi bisa membaca dan memahami karyanya. Namun Minke merasa bahasa Belanda kedudukannya lebih tinggi dibandingkan bahasa Melayu. Percakapan terjadi agak memanas, hingga hubungannya dengan Jean Marais mulai merenggang, dan muncullah penengah diantara keduanya, Maysaroh, putri semata wayang Jean Marais.

Khoe Ah Soe, seorang aktivis dari Tionghoa yang berjiwa nasionalisme tinggi datang ke Wonokromo, dan Minke diminta oleh atasannya di S.N. v/d D., Martin Nijman, untuk mewawancarai Khoe Ah Soe dalam bahasa Inggris. Namun tulisannya lantas dibelokkan oleh Nijman, sang  Eropa licik yang menghalalkan segala cara. Nijman menerbitkan tulisan yang bertolak belakang dengan hasil wawancara Minke kepada Khoe Ah Soe, terbitan tersebut menyebutkan bahwa Khoe Ah Soe adalah pelarian dan datang secara Ilegal di Hindia ini. Tak lama kemudian Khoe Ah Soe dikabarkan menjadi buronan. Nyai Ontosoroh dam Minke kemudian melindungi Khoe Ah Soe di rumahnya, dengan bantuan Darsam, penjaga keamanan Nyai Ontosoroh selama ini, Khoe Ah Soe dalam pengawasan dan perlindungannya . Minke kaget dengan pemberitaan yang dirilis oleh Nijman tersebut, dari hal ini Minke belajar menerima kenyataan atas nasehat dari Nyai Ontosoroh, bahwa begitulah Eropa, licik !

Untuk mengurangi beban pikiran yang terjadi selama ini, Nyai Ontosoroh mengajak Minke untuk berlibur ke Tulangan, Sidoarjo. Nyai Ontosoroh memutuskan untuk mengajak Minke menginap di rumah saudaranya, Sastro Kassier, seorang pegawai pabrik gula di daerah setempat. Begitu banyak wanita pribumi yang dijadikan gundik Tuan gula dan orang-orang Belanda, termasuk juga Nyai Ontosoroh yang dulu terpaksa menikah dengan Tuan Administratur Mellema. Nasib sial itu kini menimpa anak Sastro Kassier, Surati, keadaan yang telah diatur dengan licik memaksanya menyerahkan diri kepada Frits Homerus Vleekenbaiji, administrator pabrik gula daerah setempat, yang memfitnah ayah Surati telah mencuri uang gaji kuli-kuli pabrik. Vleekenbaiji  bersedia membantu melunasi hutang-hutang Sastro Kassier dengan syarat. Jebakan tersebut memaksa Sastro Kassier menyerahkan puterinya. Namun Surati memang gadis cerdas, malam harinya ia memohon diri kepada orang tuanya untuk meninggalkan rumah mencari wangsit, sepanjang malam ia berjalan dan akhirnya menuju suatu perkampungan yang terisolir, semua penduduk kampung ini tidak boleh keluar dari area yang telah dibatasi, pun penduduk luar dilarang masuk kampung ini karena wabah cacar yang waktu itu belum ditemukan obatnya. Pihak Gubermen berencana akan mendiamkan perkampungan itu hingga cacar memakan tubuh-tubuh tak berdosa penduduk kampung sampai meninggal. Surati memasuki perkampungan itu, dan ia sengaja menularkan diri agar terkena cacar dari tempat ini. Kemudian, kekejian Belanda datang lagi, mereka mendatangi perkampungan ini untuk membakar dan melenyapkan kampung beserta isinya agar wabah cacar tidak menyebar. Terkutuk ! Surati berhasil keluar dari tempat itu dan menyerahkan diri kepada Plikemboh, julukan untuk Vleekenbaiji. Akhirnya Plikemboh tertular wabah cacar dan meninggal dunia.

Sudut pandang Minke akan keagungan Eropa dan Belanda mulai bergeser. Suatu ketika ia memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitaran daerah rumah Sastro Kassier, hingga akhirnya ia bertemu dengan Trunodongso, petani penentang yang tidak ingin menyewakan tanahnya kepada pabrik gula. Ia tinggal bersama anak dan istrinya, akhirnya Minke memutuskan untuk menginap di tempat Trunodongso dan menggali lebih dalam informasi yang sedang terjadi di lapangan. Ketidak adilan terjadi pada kaum tani, mereka dipaksa menyewakan tanah untuk ditanami tebu kepada pabrik gula, dengan kesepakatan waktu sewa yang selalu dilanggar oleh pihak pabrik gula, pun demikian upah sewa yang tidak sesuai membuat Trunodongso juga enggan untuk menyewakan tanahnya. Minke berjanji kepada Trunodongso untuk membantu kesulitannya, salah satunya dengan menulis dan memberitakan kejadian ini melalui media.

Nyai Ontosoroh dan Minke kembali ke Wonokromo, dan mendapati kabar dari Darsam bahwa Khoe Ah Soe telah meninggal dunia. Khoe Ah Soe menitipkan surat kepada Minke, agar suatu saat surat itu diberikan kepada seorang gadis di Betawi. Minke dan Nyai Ontosoroh pun terpukul dengan meninggalnya orang baik dan pintar seperti Khoe Ah Soe. Minke berencana menerbitkan tulisan tentang Trunodongso, namun ternyata Nijman menolak. Nijman yang seorang Belanda jelas menghindari berita yang menyudutkan gula. Minke mulai berdamai dengan kenyataan.

Minke memutuskan untuk pergi ke Semarang, melalui jalur laut, dan di kapal ia bertemu seorang jurnalis bernama Ter Haar, mereka berdiskusi cerdas mengenai kisah Belanda, kelicikan dan tujuannya menjajah Hindia. Minke ingin pergi ke sebuah kantor Koran di Semarang, namun sayang ia diciduk polisi dan harus kembali ke Wonokromo untuk kembali ke rumah Nyai Ontosoroh.

Saat kepergian Minke, Nyai Ontosoroh dihadapkan pada sebuah kenyataan pelik lagi. Nyai Ontosoroh mengetahui kenyataan pembunuhan kepada camat Sidoarjo, yang ia duga pembunuhnya tak lain adalah mendiang suaminya, Herman Hellema. Saat Minke sampai di rumah Nyai Ontosoroh lagi, Nyai Ontosoroh bercerita tentang kenyataan lain lagi, bahwa Robert, anak Nyai Ontosoroh yang lain, saudara dari Annelies Mellema meninggalkan benih yang kini telah mampu melihat dunia kepada Minem. Sementara Robert sendiri diberitakan telah meninggal dan jasadnya tak pernah pulang, ia berkeliling Eropa. Bayi mungil itu dinamai Rono. Kini Rono dan Minem menetap di rumah Nyai Ontosoroh, namun tak lama kemudian Minem memutuskan untuk pergi dari Wonokromo dan si Rono dalam asuhan Nyai Ontosoroh.

Tak lama setelah Minke pulang, mereka harus menghadapi Ir. Maurits Mellema, anak resmi dari Tuan administratur Mellema dengan istri pertamanya. Nyai Ontosoroh dan Minke didampingi sahabat-sahabatnya, Pandji Darman, Jean Marais, Maysaroh, Kommer dan tak luput Darsam ikut serta dalam penyambutannya kepada Mairuts Mellema.

 Ir. Maurits Mellema yang seharusnya bertanggung jawab atas kematian Annelies, ia adalah wali Annelies yang merencanakan pembunuhan perlahan kepada Annellies terkait dengan perebutan warisan perusahaan Mellema. Kini ia datang untuk menuntut haknya atas warisan tersebut. Serangan cerdas dengan kalimat tajam mereka hardikkan kepada Ir. Maurits Mellema hingga membuatnya gentar dan menunda pengusiran keluarga Nyai Ontosoroh dari rumahnya.

Masalah lain yang harus dihadapi adalah persidangan Minke, Nyai Ontosoroh dengan Robert Suurhorf yang akhirnya dimenangkan pihak Minke. Robert Suurhorf dipenjara dengan berbagai kasus yang telah terjadi.

Berbagai kasus dan kenyataan yang menguak kekejian Belanda dengan cara liciknya mengubah sudut pandang Minke. Ia mulai berdamai dengan kenyataan bahwa Eropa yang telah diagung-agungkannya dan kemajuan ilmu pengetahuannya yang selalu dianggapnya benar kini bergeser. Ia sadar sebagai Pribumi yang terpelajar harusnya membela siapa. Dan akhirnya ia memutuskan untuk berangkat ke Betawi untuk belajar di sekolah dokter STOVIA. Dan Trunodongso beserta keluarganya kini di rumah Nyai Ontosoroh meminta perlindungan.


NB : Begitu takut Pribumi dengan makhluk Eropa yang bersepatu dan berbaju necis, sementara Pribumi dengan baju adat tanpa alas kaki yang selalu menunduk dan menaruh rasa hormat kepada orang-orang licik tersebut. Betapa nanti kecerdasan pemuda akan dapat mengubah dan menanamkan kepercayaan diri menghadapi Belanda. Buku ini menyuguhkan semangat dan kenyataan pahit pada masanya.
Orang bilang, apa yang ada di depan manusia hanya jarak. Dan batasnya adalah ufuk. Begitu jarak ditempuh, sang ufuk menjauh. Yang tertinggal jarak itu juga -- abadi. Di depan  sana ufuk yang itu juga -- abadi. Tak ada romantika cukup kuat untuk dapat menaklukkan dan menggenggamnya dalam tangan - jarak dan ufuk abadi itu. -Pram-

Tabik !

2 comments: