Berawal dari tahun 2014 lalu, saat saya akan
mengikuti tes seleksi masuk salah satu BUMN yang bertempat di Bandung. Tak ada
gambaran untuk tinggal dimana, saat itu saya memutuskan untuk mecari hotel via
online. Namun dalam pencarian, melalui komunikasi di group komunitas, Abah
Lutung, seorang kurir #SedekahRombongan di Bandung yang memiliki nama asli
Suspendi Wijaya, melarang saya tinggal di hotel karena ada Abah dan “saudara-saudara”
yang lain di Bandung. Abah menawarkan untuk menjemput dan memperkenankan saya menginap
di tempatnya. Itulah awal pertemuan saya dengan Abah, yang sebelumnya baru
saling kenal melalui group di Whats app dan komunikasi terbatas via group yang
memang kebanyakan orang-orang baik berkumpul, sementara saya mah apa atuh. Barangkali
hanya tim hore.
Pertemuan pertama dengan Abah dan Ambu
berlangsung dengan sangat menyenangkan, disambut beberapa adek-adek yang sangat
riang. Siapa sangka mereka yang aktif bergerak kesana kemari itu ternyata
adalah pejuang kanker. Semua heboh dengan canda tawa masing-masing. Dari pertemuan
ini saya semakin mengenal sosok Abah dan Ambu. Mereka adalah sosok yang inspiratif
bagi saya.
Perkenalkan, Abah dan Ambu adalah sosok orang
tua asuh yang mengurus dan mendampingi para pejuang kanker dan keluarganya. Mereka
menampung dan menemani proses pengobatan anak-anak pejuang kanker selama di
Bandung. Abah dan Ambu menamainya sebagai “Rumah Cinta”, yah rumah yang penuh
cinta untuk anak-anak pejuang kanker beserta keluarganya. Berbagai keluarga yang
berasal dari berbagai daerah berkumpul disini, yang awalnya tak saling kenal menjadi
sama rasa sama rata, rasa kekeluargaannya sangat kental terasa. Hingga saat ini
total sampai ratusan anak pejuang kanker yang didampingi di Rumah Cinta.
Mereka tak selamanya tinggal di rumah cinta,
kadang mereka pulang ke tempat asal mereka, hingga saat waktu kontrol tiba,
mereka kembali lagi ke rumah cinta. Pun begitu tak sedikit juga yang memilih
untuk tinggal di rumah cinta karena jarak tempuh yang jauh untuk mondar-mandir
dari tempat asal ke rumah cinta. Lebih baik stay di rumah cinta. Dan rumah
cinta tak pernah sepi.
Latar belakang berdirinya rumah cinta ini
adalah saat Abah mempunyai seorang anak yang terkena retina blastoma, Abah dan Ambu
berjuang habis-habisan mendampingi putranya. Setiap hari Abah dan Ambu mendampingi
putranya di RSHS, untuk menjemput kesembuhan. Hingga suatu malam, Abah keluar
dari ruang tunggu dan mendapati suara isak tangis seorang bapak-bapak. Abah mengira
itu adalah suara semacam hantu. Namun tak lama kemudian, Abah menemukan sesosok
lelaki. Abah menghampirinya dan mengajaknya ngobrol dengan beberapa batangan
rokok sebagai penghangat malam itu.
Lelaki yang ditemui Abah kemudian bercerita
“Saya merasa menjadi manusia tak berguna, Pak. Anak saya kanker dan saya tak
bisa berbuat banyak”
Lantas Abah segera menangkis kalimat itu “Jangan
berkata seperti itu, justru Bapak sudah berjuang dengan sangat keras
mendampingi putra Bapak”.
“Saya merasa sangat tidak berguna, karena
saat anak saya meninggal pun saya tidak bisa memulangkan jenazahnya dengan
baik. Saya tak mampu menyewa Ambulance rumah sakit untuk memulangkan anak saya,
Pak”
Pilu sekali mendengar cerita itu, Seketika obrolan
jadi begitu kaku. Dari situ Abah tergugah untuk membantu. Tak ingin melihat ada
duka yang menimpa orang-orang yang sedang berjuang.
Hingga tiba waktunya, putra Abah yang terkena
retina blastoma pun meninggal dunia. Singkat cerita Abah dan Ambu bangkit dan sepakat
untuk kemudian membantu dhuafa sakit pejuang kanker. Sampai sekarang pun,
ketika Abah bercerita mengenai perjuangan anaknya yang telah bermain di taman surga,
saya masih sering menangkap mata sayup dari Ambu. Mata yang masih menggambarkan
kerinduan terhadap putranya, yang berkaca-kaca.
Abah dan Ambu tak ingin melihat ada orang tua
yang bersedih lagi, tak ingin melihat anak-anak pejuang kanker yang tak mampu
berobat lagi. Rumah Cinta hadir untuk menamani para pejuang kanker dengan penuh
cinta.
Hingga kemarin, saat saya diberi kesempatan lagi ke Bandung, saya mencuri-curi waktu disela-sela acara kantor. Saya ingin
mendaratkan pangkal kerinduan saya terhadap rumah cinta. Berbekal aplikasi
gojek yang sudah membumi di tanah Pasundan, Bandung, akhirnya saya sampai juga
di rumah cinta. Disambut dengan gelak tawa anak-anak.
Ada kerinduan disini, ada magnet di tempat
ini. Yang membuat saya untuk kembali kesini, menemui orang-orang luar biasa,
atau sekedar re-charge diri sendiri. Senyum tulus bahagia yang sama sekali
tidak menggambarkan adanya orang-orang yang sedang sakit. Seperti anak-anak
pada umumnya, mereka saling ledek, saling cie-cieee, saling bermain bersama,
saling bertengkar sesaat kemudian baikan lagi. Kebanyakan pejuang kanker disini
botak, pun begitu ada satu anak yang usil dan ngejek temen lainnya “dasar lu
botak” hahahhaa, padahal mereka juga sama-sama botak.
“Ih, awas teh itu si Kipliiii”. Semua bergembira.
Selfie dan groupy.
Kemudian Ambu mengeluarkan zargon khasnya
dengan berteriak “HADIIIIIIIIRRRR”, pertanda ada makanan yang akan dibagikan
oleh Ambu kepada anak-anak. Semua berlari sekencang mungkin untuk mendatangi
sumber suara. Semua bergembira.
Setiap pagi buta ambu dibantu dengan beberapa
ibu-ibu lain yang tinggal di rumah cinta untuk bangun pagi dan memasak. Membuat puluhan
bahkan ratusan nasi bungkus untuk dibagikan kepada keluarga pasien lain yang
sedang menunggu putra-putri kecilnya di RSHS. Kemudian para Bapak-bapak mengantarkan nasi bungkus tersebut ke selasar Rumah Sakit Hasan Sadikin
(RSHS) untuk diberikan kepada keluarga pasien yang sedang ada jadwal kontrol dan
kemoterapi, sebagai pengganjal dan bekal sarapan. Semua orang baik, dan tidak boleh ada yang merasa sendirian. Merasa satu keluarga. Dan hal ini berlangsung setiap pagi.
Saya selalu merasa damai mendatangi tempat-tempat
semacam ini. Ada semacam syukur dan haru. Terimakasihku kepada Allah SWT yang
telah memberi kesempatan kepada saya untuk mengenal Abah dan Ambu.
Alamat Rumah Cinta : Jl. Bijaksana Dalam No.
11, RT. 05/10, kelurahan Pasteur, Sukajadi, Bandung.
No comments:
Post a Comment