Sunday, 12 June 2016

Rumah Cinta Anak Kanker Bandung

Berawal dari tahun 2014 lalu, saat saya akan mengikuti tes seleksi masuk salah satu BUMN yang bertempat di Bandung. Tak ada gambaran untuk tinggal dimana, saat itu saya memutuskan untuk mecari hotel via online. Namun dalam pencarian, melalui komunikasi di group komunitas, Abah Lutung, seorang kurir #SedekahRombongan di Bandung yang memiliki nama asli Suspendi Wijaya, melarang saya tinggal di hotel karena ada Abah dan “saudara-saudara” yang lain di Bandung. Abah menawarkan untuk menjemput dan memperkenankan saya menginap di tempatnya. Itulah awal pertemuan saya dengan Abah, yang sebelumnya baru saling kenal melalui group di Whats app dan komunikasi terbatas via group yang memang kebanyakan orang-orang baik berkumpul, sementara saya mah apa atuh. Barangkali hanya tim hore.

Pertemuan pertama dengan Abah dan Ambu berlangsung dengan sangat menyenangkan, disambut beberapa adek-adek yang sangat riang. Siapa sangka mereka yang aktif bergerak kesana kemari itu ternyata adalah pejuang kanker. Semua heboh dengan canda tawa masing-masing. Dari pertemuan ini saya semakin mengenal sosok Abah dan Ambu. Mereka adalah sosok yang inspiratif bagi saya.



Perkenalkan, Abah dan Ambu adalah sosok orang tua asuh yang mengurus dan mendampingi para pejuang kanker dan keluarganya. Mereka menampung dan menemani proses pengobatan anak-anak pejuang kanker selama di Bandung. Abah dan Ambu menamainya sebagai “Rumah Cinta”, yah rumah yang penuh cinta untuk anak-anak pejuang kanker beserta keluarganya. Berbagai keluarga yang berasal dari berbagai daerah berkumpul disini, yang awalnya tak saling kenal menjadi sama rasa sama rata, rasa kekeluargaannya sangat kental terasa. Hingga saat ini total sampai ratusan anak pejuang kanker yang didampingi di Rumah Cinta.

Mereka tak selamanya tinggal di rumah cinta, kadang mereka pulang ke tempat asal mereka, hingga saat waktu kontrol tiba, mereka kembali lagi ke rumah cinta. Pun begitu tak sedikit juga yang memilih untuk tinggal di rumah cinta karena jarak tempuh yang jauh untuk mondar-mandir dari tempat asal ke rumah cinta. Lebih baik stay di rumah cinta. Dan rumah cinta tak pernah sepi.

Latar belakang berdirinya rumah cinta ini adalah saat Abah mempunyai seorang anak yang terkena retina blastoma, Abah dan Ambu berjuang habis-habisan mendampingi putranya. Setiap hari Abah dan Ambu mendampingi putranya di RSHS, untuk menjemput kesembuhan. Hingga suatu malam, Abah keluar dari ruang tunggu dan mendapati suara isak tangis seorang bapak-bapak. Abah mengira itu adalah suara semacam hantu. Namun tak lama kemudian, Abah menemukan sesosok lelaki. Abah menghampirinya dan mengajaknya ngobrol dengan beberapa batangan rokok sebagai penghangat malam itu. 

Lelaki yang ditemui Abah kemudian bercerita “Saya merasa menjadi manusia tak berguna, Pak. Anak saya kanker dan saya tak bisa berbuat banyak”

Lantas Abah segera menangkis kalimat itu “Jangan berkata seperti itu, justru Bapak sudah berjuang dengan sangat keras mendampingi putra Bapak”.

“Saya merasa sangat tidak berguna, karena saat anak saya meninggal pun saya tidak bisa memulangkan jenazahnya dengan baik. Saya tak mampu menyewa Ambulance rumah sakit untuk memulangkan anak saya, Pak”

Pilu sekali mendengar cerita itu, Seketika obrolan jadi begitu kaku. Dari situ Abah tergugah untuk membantu. Tak ingin melihat ada duka yang menimpa orang-orang yang sedang berjuang.

Hingga tiba waktunya, putra Abah yang terkena retina blastoma pun meninggal dunia. Singkat cerita Abah dan Ambu bangkit dan sepakat untuk kemudian membantu dhuafa sakit pejuang kanker. Sampai sekarang pun, ketika Abah bercerita mengenai perjuangan anaknya yang telah bermain di taman surga, saya masih sering menangkap mata sayup dari Ambu. Mata yang masih menggambarkan kerinduan terhadap putranya, yang berkaca-kaca.

Abah dan Ambu tak ingin melihat ada orang tua yang bersedih lagi, tak ingin melihat anak-anak pejuang kanker yang tak mampu berobat lagi. Rumah Cinta hadir untuk menamani para pejuang kanker dengan penuh cinta.

Hingga kemarin, saat saya diberi kesempatan lagi ke Bandung, saya mencuri-curi waktu disela-sela acara kantor. Saya ingin mendaratkan pangkal kerinduan saya terhadap rumah cinta. Berbekal aplikasi gojek yang sudah membumi di tanah Pasundan, Bandung, akhirnya saya sampai juga di rumah cinta. Disambut dengan gelak tawa anak-anak.

Ada kerinduan disini, ada magnet di tempat ini. Yang membuat saya untuk kembali kesini, menemui orang-orang luar biasa, atau sekedar re-charge diri sendiri. Senyum tulus bahagia yang sama sekali tidak menggambarkan adanya orang-orang yang sedang sakit. Seperti anak-anak pada umumnya, mereka saling ledek, saling cie-cieee, saling bermain bersama, saling bertengkar sesaat kemudian baikan lagi. Kebanyakan pejuang kanker disini botak, pun begitu ada satu anak yang usil dan ngejek temen lainnya “dasar lu botak” hahahhaa, padahal mereka juga sama-sama botak.

“Ih, awas teh itu si Kipliiii”. Semua bergembira. Selfie dan groupy.





Kemudian Ambu mengeluarkan zargon khasnya dengan berteriak “HADIIIIIIIIRRRR”, pertanda ada makanan yang akan dibagikan oleh Ambu kepada anak-anak. Semua berlari sekencang mungkin untuk mendatangi sumber suara. Semua bergembira.



Setiap pagi buta ambu dibantu dengan beberapa ibu-ibu lain yang tinggal di rumah cinta untuk bangun pagi dan memasak. Membuat puluhan bahkan ratusan nasi bungkus untuk dibagikan kepada keluarga pasien lain yang sedang menunggu putra-putri kecilnya di RSHS. Kemudian para Bapak-bapak mengantarkan nasi bungkus tersebut ke selasar Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) untuk diberikan kepada keluarga pasien yang sedang ada jadwal kontrol dan kemoterapi, sebagai pengganjal dan bekal sarapan. Semua orang baik, dan tidak boleh ada yang merasa sendirian. Merasa satu keluarga. Dan hal ini berlangsung setiap pagi.

Saya selalu merasa damai mendatangi tempat-tempat semacam ini. Ada semacam syukur dan haru. Terimakasihku kepada Allah SWT yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk mengenal Abah dan Ambu.

Tidak ada alasan untuk tidak bersyukur. Saat duniamu terasa begitu kejam, dan apa yang terjadi tak sesuai dengan apa yang dimau. Coba sejenak berhenti dan istirahat. Bernafas lebih teratur dan berucap syukur. Barangkali memang ada hak dhuafa yang masih menempel di badan kita. 


Alamat Rumah Cinta : Jl. Bijaksana Dalam No. 11, RT. 05/10, kelurahan Pasteur, Sukajadi, Bandung.

No comments:

Post a Comment