Love – Pain – Family – Fall -
Experience – courage – Fear – Strength – Faith – Hope
Ketika mendengar “Everest” yang
terlintas di dalam kepalaku adalah salju. –Sore itu, hari Rabu, 16 September
2015 setelah selesai balancing di kantor aku membuka handphone, ada sms
ter-popup dari nomor yg aku simpan sebagai “dearest” di kontak.
“dek, nonton Everest yuk”
Berasa kudet karena aku memang ga
update dengan jadwal film release di bioskop. Ga perlu pikir panjang memang
kami langsung mengatur jadwal bertemu dan tempat nonton yang ekonomis, TIM.
Everest adalah film yang diangkat
dari kisah nyata, pendakian “massal” yang terjadi tahun 1996 ini menjadi
sejarah tersendiri. Berbagai rombongan berlomba-lomba untuk mencapai puncak
dengan ego masing-masing. Camp ground yang mulai dipenuhi oleh orang-orang yang
memiliki tujuan sama untuk mencapai puncak Everest.
Kontingen dari berbagai negara hadir
memeriahkan pendakian tahun 1996 itu, mulai dari Afrika Selatan, Taiwan hingga
komunitas seperti Adventure Consultant dan Mountain Madness yang mengkomersialkan
Everest sebagai lahan penghasilan mulai dihadiri orang-orang dari penjuru dunia.
Team leader masing-masing group mempunyai tugas yang sama, yaitu membawa
anggota mereka naik dan turun lagi dengan selamat.
“Manusia selalu mencoba bersaing dengan gunung, dan gununglah yang selalu menjadi pemenang” |
Banyaknya team yang ingin mencapai
puncak membuat jalur pendakian begitu ramai. Ego masing-masing yang kekeuh untuk
mencapai puncak membuat mereka lalai dengan berbagai prioritas dan esensi naik
gunung. Saya suka dengan kalimat Anatoli Boukreev dalam film ini “Manusia selalu mencoba bersaing dengan
gunung, dan gununglah yang selalu menjadi pemenang”. Jangan pernah menantang gunung, meskipun sampai pada
puncaknya, itu bukanlah suatu kemenangan ! Bukan ! justru kemenangan adalah
ketika kita mampu mengalahkan ego kita.
Setiap mereka membawa alasan
tersendiri mengapa melakukan pendakian Everest ini, ada yang karena mencari
kedamaian. Ada yang mengaku karena telah mendaki 6 gunung tertinggi hingga
Everest harus melengkapi 7 summit-nya. Ada yang karena ingin memotivasi
anak-anak di rumahnya yang telah membantu membiayai modal menuju Everest. Semua
dengan alasan mereka masing-masing, yang intinya semua ingin menggapai puncak
Everset -1996.
Rob yang menjadi team leader meninggalkan
seorang istri yang sedang hamil di rumahnya, firasat wanita memang tak pernah
bisa dipungkiri. Meski sulit untuk diutarakan, baiknya menjaga yang selayaknya
dijaga terlebih dahulu ketimbang memenuhi panggilan jiwanya. Rob berangkat
dengan hati yang gusar, menuju Nepal. Hingga ia bertemu dengan kelompok lain
yang ingin mendaki Everest. Doug Hansen, Scot Fisher, Anatoli, Krakauer dll.
Siapa yang tidak kagum dengan puncak
tertinggi dunia ini, namun cuplikan kalimatnya membuat ada sesuatu yang
menyusup di hati “Jangan telalu lama memandang puncak, itu terlalu jauh. Menunduklah
dan menapak selangkah demi selangkah”
Ada satu adegan yang membuat saya
bergedik, saat Rob memungut sampah di camp ground Everest, menandakan memang
sampah mulai meracuni alam di gunung. Sembari ia mengamati seseorang yang
mengajarkan cara menggunakan sepatu kepada beberapa bocah amatir. Ia mulai
heran, bagaimana bisa seorang seperti mereka diajak berkunjung ke everest jika
menggunakan sepatu saja masih perlu diajarkan. Lelucon !
Pengkondisian dilakukan dengan
tertib, sebelum pendakian dilaksanakan. Semua berlatih fisik dan adaptasi
dengan lingkungan baru. Memahami suasana pendakian yang sangat crowded, semua
mengatur strategi baru dan ingin tetap mencapai puncak tepat waktu, meskipun
sudah diperingatkan bahwa akan terjadi antrian panjang di Hillary Step, salah
satu route jalur pendakian yang harus disebrangi. Semua dipersiapkan dengan
detail dan pembagian tugas telah di-share dengan baik.
Persiapan yang matang bukan menjadi
jaminan kelancaran pendakian juga, buktinya saat pendakian di film ini masih
saja ada beberapa hal yang miss, saat salah seorang kelupaan untuk meletakkan tabung
oksigen di jalur selatan sebagai cadangan. Dan kejadian tali yang harusnya
datang tepat waktu untuk membuka jalur pendakian menuju puncak datang terlambat
dan akhirnya membuat beberapa pendaki mulai resah.
Anggota Pendakian Everest 1996, 4 diantaranya meninggal dunia Doug Hansen, Andy, Rob, Yasuko Namba. |
Film ini sungguh luar biasa, bukan
mengenai kisahnya saja. Tapi tentang esensi naik gunung yang pesannya begitu
mengena. Rob yang begitu luar biasa baik dan bertanggungjawab terhadap
anggotanya, membuat ia mengantarkan naik lagi ke puncak yang baru saja ia capai demi ego salah seorang pendaki,
hingga akhirnya ia tewas dibarengi adegan yang memilukan saat telepon
satelitnya tersambung dengan istrinya yang sedang hamil di rumah. Pilu.
Dan saat Toli membantu pendaki lain
untuk masuk tenda, kebaikan-kebaikan para pendaki yang mengalahkan ego.
Meskipun beberapa orang dalam pendakian Everest ini memiliki ego masing-masing
demi mencapai puncak.
Gunung tak hanya sekedar pencapaian puncak, “It’s the attitude, not altitude”.
Beberapa pelajaran penting dalam film ini :
1. Jaga istri di rumah, saat istri
sedang hamil jangan ditinggal naik gunung *KODE KERAS*
2. Persiapan dan pemikiran yang matang
saat naik gunung itu mutlak, segala yang telah dipersiapkan dalam kebutuhan
pendakian gunung film Everest ini telah dilakukan, namun tetap saja ada yang
luput. Kebayang kan gimana jadinya kalau tidak dipersiapkan dengan baik alias
waton mangkat ?
3. Satu hal lagi, pendakian bukan hanya
sekedar mencapai puncak. Tapi esensi kita mengenal diri sendiri, mengalahkan ego
masing-masing. “It’s the attitude, not altitude”.
Credit Feature Image by http://www.rottentomatoes.com/
Credit Feature Image by http://www.rottentomatoes.com/
No comments:
Post a Comment