Sunday 29 December 2013

mandiri

Bukan tentang hal yang muluk-muluk lagi, karena aku hanya seorang pengamat. Yah, sebatas pengamat.
Aku mengenalnya sejak awal semester 4 lalu ketika aku masih aktif kuliah di kampus Universitas Sebelas Maret, masih ingat betul awal pertemuan. Awal tatapan syahdu itu,
Kala itu baru selesai kuliah, aku berlari ala jalan ku yang sering grusa grusu, dari lantai 3 gedung B menuruni tangga, kemudian duduk santai di depan gedung B, tatapanku tiba-tiba bertemu dengan sepasang bola mata yang penuh semangat dan kekaguman. Sosok wanita lebih dari paruh baya menaiki tanjakan yang hampir 45 derajat itu, yah depan gedung B, menggandeng laki-laki yang tak pantas lagi jika kusebut ia sedang sehat dan baik-baik saja. Tapi keduanya terlihat penuh semangat hidup J. sepasang bola mata yang lain tak mampu kutangkap, kulihat lebih dekat, dan aku tak menemukan sepasang bola mata lain itu.
Yah, sempat mengobrol sebentar, dari obrolan itu aku menangkap bahwa sosok laki-laki tersebut adalah adik kandungnya. Adik kandung dari ibu yang setia mengganddengnya. Pertemuan yang indah.
Sejak saat itu aku sering melihat mereka. Bergandengan beriringan di lingkungan UNS, tapi lebih sering aku melihat mereka berjalan di sekitaran FMIPA dari arah Pertanian. Syahduu…. J
Pagi mereka lebih sering ku lihat duduk di perempatan MIPA Kedokteran FKIP. Yah, duduk di pedestrian yang ada tempat duduknya hingga siang.
Dari sapu dan kelut mereka mencari rizki, tak meminta-minta dan menyusahkan orang lain. Ah rasanya begitu malu,
Yah, mereka sosok pedagang. Menjual sapu lantai dan kelut (:sulak). Aku kurang paham apa bahasa Indonesia nya sulak.
Sosok ini begitu inspiratif, seperti meng-charge semangat ketika pagiku melihat ulasan gurat wajah mereka. Aku sering menunggu-nunggu kehadiran mereka, yah hanya sebatas menunggu dan ingin bertemu, menatap dan tersenyum. Yah, karena aku hanyalah pengamat.
Hari ini kulihat lagi mereka, siang, jadwal mereka duduk di pedestrian perempatan. Aku mengamati lagi, kali ini agaknya berbeda, karena lengan kanan sang ibu tak seperti dulu lagi. Kali ini lengannya seperti membungkuk dan sulit diluruskan, seperti ada tonjolan.
Tapi ia masih dengan semangat melepas kaitan ikat sapu, ia masih mampu dan terus berjuang. Lagi, sepasang bola mata yang lain itu tak pernah ku temukan, yah karena sang Bapak tak mampu melihat.


Karena, aku hanyalah pengamat. Semoga rizki mu berkah Pak, Bu J

No comments:

Post a Comment