Bukan
tentang hal yang muluk-muluk lagi, karena aku hanya seorang pengamat. Yah,
sebatas pengamat.
Aku
mengenalnya sejak awal semester 4 lalu ketika aku masih aktif kuliah di kampus
Universitas Sebelas Maret, masih ingat betul awal pertemuan. Awal tatapan
syahdu itu,
Kala
itu baru selesai kuliah, aku berlari ala jalan ku yang sering grusa grusu, dari
lantai 3 gedung B menuruni tangga, kemudian duduk santai di depan gedung B,
tatapanku tiba-tiba bertemu dengan sepasang bola mata yang penuh semangat dan
kekaguman. Sosok wanita lebih dari paruh baya menaiki tanjakan yang hampir 45
derajat itu, yah depan gedung B, menggandeng laki-laki yang tak pantas lagi
jika kusebut ia sedang sehat dan baik-baik saja. Tapi keduanya terlihat penuh
semangat hidup J. sepasang bola mata yang lain tak mampu
kutangkap, kulihat lebih dekat, dan aku tak menemukan sepasang bola mata lain
itu.
Yah,
sempat mengobrol sebentar, dari obrolan itu aku menangkap bahwa sosok laki-laki
tersebut adalah adik kandungnya. Adik kandung dari ibu yang setia
mengganddengnya. Pertemuan yang indah.
Sejak
saat itu aku sering melihat mereka. Bergandengan beriringan di lingkungan UNS,
tapi lebih sering aku melihat mereka berjalan di sekitaran FMIPA dari arah
Pertanian. Syahduu…. J
Pagi
mereka lebih sering ku lihat duduk di perempatan MIPA Kedokteran FKIP. Yah,
duduk di pedestrian yang ada tempat duduknya hingga siang.
Dari
sapu dan kelut mereka mencari rizki, tak meminta-minta dan menyusahkan orang
lain. Ah rasanya begitu malu,
Yah,
mereka sosok pedagang. Menjual sapu lantai dan kelut (:sulak). Aku kurang paham
apa bahasa Indonesia nya sulak.
Sosok
ini begitu inspiratif, seperti meng-charge semangat ketika pagiku melihat
ulasan gurat wajah mereka. Aku sering menunggu-nunggu kehadiran mereka, yah
hanya sebatas menunggu dan ingin bertemu, menatap dan tersenyum. Yah, karena
aku hanyalah pengamat.
Hari
ini kulihat lagi mereka, siang, jadwal mereka duduk di pedestrian perempatan.
Aku mengamati lagi, kali ini agaknya berbeda, karena lengan kanan sang ibu tak
seperti dulu lagi. Kali ini lengannya seperti membungkuk dan sulit diluruskan,
seperti ada tonjolan.
Tapi
ia masih dengan semangat melepas kaitan ikat sapu, ia masih mampu dan terus
berjuang. Lagi, sepasang bola mata yang lain itu tak pernah ku temukan, yah
karena sang Bapak tak mampu melihat.
Karena,
aku hanyalah pengamat. Semoga rizki mu berkah Pak, Bu J
No comments:
Post a Comment